Ketidak Adilan, Kekerasan dan Pelangaran HAM Hak Asasi Manusia, di Papua-Nduga.
Sejak Lama Nduga Dalam Darurat Militer, Penderitaan Rakyat Sulit Terproteksi, Rasa Aman Telah Hilang Dari Bumi Ndugama dan Pemimpin Negara Buta & Tuli mendengar dan melihat Untuk menyelesaikan
Timika, 19 Agustus 2023, Terlepas dari siapa Kelompok pemberontak atau TPNPB dan siapa TNI Polri, saya berdiri atas nama kemanusiaan yang adil dan beradab dapat memberikan tanggapan serius terkait situasi terkini kehidupan masyarakat sipil di kabupaten Nduga Papua!
Landasan yang mendukung penulis untuk mengungkapkan Persoalan sesungguhnya terkait kehidupan masyarakat Sipil asal Nduga di Ndugama adalah atas dasar prinsip keTuhanan Yang Maha Esa yang menciptakan manusia dengan maksud mulia, atas dasar prinsip hukum humaniter internasional, atas prinsip deklarasi Universal tentang hak asasi manusia, atas dasar ketegasan konvensi internasional tentang hak sipil politik, hak ekonomi sosial dan budaya, hak-hak warga negara secara konstitusional dalam UUD 1945, hak atas keberpihakan kepada OAP sebagai wilayah dengan penerapan prinsip asimetris sistem dalam penyelenggaraan otonomi khusus Papua dan hak asasi manusia secara hukum alam yang hidup sejak manusia itu ada. Jadi jangan kemudian bermacam - macam tafsir menjangkau catatan ini atas dasar apapun!.
Sesungguhnya Konsekwensi logis kelompok kombatan baik itu TPNPB maupun TNI polri atas mengangkat senjata adalah baku tembak dan kematian yang diterima secara nyata di lapangan bagi kedua pihak dan pada saat yang sama sesungguhnya bagian dari resiko dan tidak berlaku HAM bagi mereka. HAM hanya berlaku kepada masyarakat sipil sehingga Rakyat Nduga yang terus menderita atas kematian, menderita atas penyiksaan, menderita karena rampas kemerdekaan l, kebebasan dan keamanan termasuk penyiksaan pengurus sinode Klasis Nduga kemarin (18/09/2023) adalah bagian dari rentetan pelanggaran HAM!.
Dalam perang ada hukumnya, tetapi ada kendala besar dalam menerapkan prinsip HHI seperti Timor Timur sebelum akhirnya merdeka sehingga dampak langsung adalah rakyat Sipil kami mati bodoh - bodoh di negerinya sendiri sebab negara tidak memberikan status TPNPB sebagai kelompok pemberontak, bukan KKB.
Catatan penting pantauan saya selama ini adalah sebagai berikut:
1. Kendala penerapan hukum humaniter internasional dengan semua prinsip dan perangkat yang mengatur tentang perang adalah masalah yang melahirkan kejahatan terhadap rakyat Sipil. Dampak tidak adanya penerapan hHI, mati banyak di Papua dan Ndugama pada khususnya. Negara' tidak mau hal itu oleh sebabnya negara tidak memberikan status TPNPB sebagai kelompok pemberontak tetapi masih menggunakan istilah kriminal/ KKB, KSB, OTK label lainnya. Ini dampaknya sangat luas dan tingkat resikonya tinggi antara kedua pihak dan lagi-lagi yang mati pastilah rakyat Sipil. Jika tunduk pada hukum perang, maka kelompok petugas kesehatan, kelompok rohaniah dan volunteer lainnya seperti palang merah Indonesia/ palang merah internasional bisa terlibat langsung dalam menangani korban perang termasuk korban kelompok kombatan kedua belah pihak memiliki hak asasi manusia dalam memberikan pelayanan dan perlindungan hukum. Tetapi faktanya tidak bisa karena statusnya kriminal oleh negara!
Pengakuan TPNPB sebagai kelompok pemberontak sangat penting guna menghindari korban kelompok Sipil dan petugas kesehatan serta pelayan gereja berjatuhan selama ini.
2. TNI Polri dan TPNPB memiliki emosional yang sama dalam menghadapi perang sehingga jika belum balas korban Penembakan salah satu pihak, maka pelampiasannya pasti pada masyarakat. Hal ini terbukti Banyak data yang kemudian ratusan warga sipil Nduga mati ditangan oknum aparat TNI polri dan banyak pula masyarakat sipil non Papua dan non Nduga mati dengan cara balas membalas disaat-saat korbannya warga sipil asal Nduga
3. Saling curiga, TPNPB maupun TNI polri sama-sama memiliki insting mencurigai setiap pergerakan warga sipil dan menuduh dengan label simpatisan KKB, pendukung KKB, pensuplai KKB dan kembalikannya dituduh sebagai simpatisan TNI polri, mata -,mata TNI, Intel Polri, orang -orang yang dianggap infoman aparat dst. Label ini kemudian banyak rakyat sipil mati sia-sia.
Situasi seperti poin (3) dan (2) diatas nyata ditemukan pada semua wilayah konflik seperti Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat dan Puncak.
Kecurigaan dimaksud terjadi pada perorangan, institusi, lembaga dan organisasi misalnya Gereja dituding sebagai gereja separatis, gereja pro NKRI, pemimpin di daerah dianggap pro TPNPB atau pro pemerintah dan seterusnya terus terjadi. Contoh kami bisa lihat seperti Michelle Kurisi Doga adalah perorangan yang dituduh sebagai Agen rahasia sehingga ia tetap korban di tangan pihak yang diberikan catatan sebagai DPO, gereja baptis dan GIDI serta GKIP dianggap gereja pro separatis dan seterusnya. Pdt di Papua diperhadapkan dengan hal yang sama, pemimpin di Paoua mengalami hal yang sama, kelompok pemuda mengalami hal yang sama. Jadi sesungguhnya rakyat sipil paling yang korban!
Persoalan Nduga hari ini menurut pengamatan
saya adalah sebagai berikut:
Pertama, Sejak konflik bersenjata pecah pada 2018 hingga hari ini korban paling banyak bahkan 90% kematian di Ndugama adalah rakyat Sipil. Korban meninggal dunia karena ditembak mati, korban meninggal dunia karena lapar di hutan-hutan, korban kehilangan harapan masa depan pendidikan bagi generasi, korban atas kehilangan kekayaan properti mereka seperti aset baik rumah, ternak, lahan, hewan ternak dan lainnya ditinggalkan dan harus pergi mengungsikan diri ke Wemena, ke Timika, ke lany Jaya, ke Punca, ke Yahukimo , Kenyam Ibu kota Nduga dll walaupun daerah ini kemudian daerah konflik pula.
Kedua, Ndugama mengalami ingatan kolektif penderitaan terdalam bagi semua di Nduga dari semua golongan sebab rakyat yang mati, penderitaan yang diderita, peristiwa yang dialami, dan seterusnya merupakan fakta akan kejahatan dan pelanggaran HAM yang bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ingatan penderitaan (memorial of suffering) dan ingatan kematian di Ndugama akan berdampak pada keberlangsungan hidup masyarakat Nduga sehingga pemekaran kabupaten yang namanya kabupaten Nduga itu tidak ada tempat untuk wujudkan slogan pembangunan dan kesejahteraan bagi masyarakat Papua di Ndugama.
Ketiga, saling curiga mencurigai oleh aparat TNI dan polri terhadap warga sipil di Ndugama semakin mengentalkan lahirnya angka penangkapan, penyiksaan, hingga dilanjutkan dengan mengirimkan ke Timika untuk di terjerobos dalam penjarah! Itu sudah banyak terjadi dan akan terjadi!. Disisi lain ada oknum-oknum yang dipasang oleh aparat untuk mendapatkan informasi keberadaan TPNPB, informasi siapa yang mendukung dan siapa yang tidak, siapa pensuplai dan siapa yang tidak, dan lainnya. Pihak TPNPB juga memiliki PIS yang kerja di dalam sehingga saling lapor melapor bagi mereka yang dicurigai sebagai mata-mata aparat dan seterusnya. Model ini kemudian melahirkan rasa takut, tidak bebas, tidak bisa kerja dan beraktivitas. Dalam kondisi seperti ini masyarakat sipil dalam Kondisi tekanan psikologis yang luar biasa! Mereka takut TNI polri, mereka Takut TPNPB lalu mereka diperlakukan seperti tindakan baru -baru ini terhadap pemimpin gereja.
Keempat, masyarakat wajib membawah sebuah Surat yang namanya surat jalan saat ke kebun, surat jalan saat bertani, saat berburu dan lainnya. Kondisi ini menunjukkan situasi darurat militer sedang diperlakukan di Nduga. Pertanyaannya adalah apakah pemerintah dalam ha ini presiden telah menetap Nduga sebagai Wilayah darurat militer? Panglima TNI telah mengeluarkan instruksi pelaksanaan darurat militer? Menteri pertahanan mengeluarkan instruksi darurat militer di Ndugama?. Demi keamanan bukan begitu sebab tindakan seperti ini menunjukkan wilayah ini dalam kondisi perang terbuka. Pada saat sistem seperti ini, bagi Mereka yang tidak membawa surat jalan ke kebun pasti jadi korban interogasi, korban penyiksaan bahkan beberapa tahun lalu, seorang warga sipil di bunuh di lahan dan Istrinya di perkosa secara bergantian dan ini kasus yang belum diuangkan ke publik.
Kelima, kami para intelektual dicurigai habis-habisan oleh berbagai pihak.
Dalam Kondisi di Ndugama yang seperti ini, para pemimpin, intelektual dan aktivitas HAM terutama asal Nduga di curiga habis- habisan oleh berbagai pihak.
Cerita saja pengalaman pribadi, seorang akademisi terkenal asal Papua sebut Saja Kakanda Marius Mesak Yaung bertanya kepada saya bahwa "Ade, kapan Pilot dibebaskan?." Pertanyaan ini seolah-olah saya adalah orang yang paling bertanggung jawab atas penyaderaan Pilot oleh TPNPB. Padahal sudah jelas siapa yang paling bertanggung jawab? Pertanyaan ini saja menunjukkan bahwa dibenak Mereka ini ada anggapan bahwa kami intelektual ikut terlibat dalam mengatur strategi TPNPB dan secara hubungan sangat saling kenal. Hal yang sama pula terhadap yang lainnya. Ini pikiran konyol yang ada sedangkan secara hierarki TPNPB memiliki struktur, mereka memiliki komandan, mereka memiliki perintah dan tidak ada kongkalingkong dengan diluar dari sistem kerja mereka.
Hal yang sama pula ditunjukkan oleh orang yang sama kepada Pak Samuel Tabuni, setelah adanya informasi kematian Ibu Michelle Kurisi Doga, dimana pak dosen ini menuding kematian Michelle ada kerlibatannya. Ini narasi dan padangan KONYOL seorang yang katanya Dosen tetapi berbicara tanpa basis metode kajian yang menyatakan kebenaran.
Negara Tuli dan Buta Melihat Situasi Kemanusiaan Nduga
Berdasarkan realitas yang dijelaskan secara singkat diatas, sesungguhnya banyak cara telah dilakukan upaya menyelesaikan! Dari tuntutan penyelesaian masalah Papua secara komprehensif dari historis, Politik, hingga pelanggaran HAM, aksi tuntutan penarikan militer non organik, permintaan agar TPNPB tidak saling tembak menembak di Ndugama, pembagian wilayah sipil dan wilayah militer yang dilakukan agar tidak berjatuhan korban warga sipil, gagalnya pembangunan di pemerintahan kabupaten Nduga sesungguhnya negara sejak lama merespon dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada di Papua secara menyeluruh tetapi faktanya pemerintah pusat masih anggap segala upaya yang dilakukan selama ini akan akhiri semua persoalan ternyata tak kunjung selesai.
Tanggungjawab konstitusi untuk memberikan perlindungan, menghormati hak penghargaan asasi manusia rupanya lenyap dari bumi Cenderawasih. Pengiriman dan pendoropan aparat TNI polri non-organik terus menerus dilakukan hingga hari ini. Presiden Jokowi Widodo telah gagal menyelesaikan persoalan mendasar Papua!. Pemerintah Indonesia telah gagal menerapkan prinsip-prinsip deklarasi Universal tentang hak asasi manusia, telah gagal melaksanakan amanah konstitusi dan Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, pemerintah RI telah gagal menerapkan sistem hukum yang benar, telah gagal menerapkan prinsip-prinsip deklarasi hak Sipil politik dan ekosob yang telah diratifikasi menjadi UU tahun 2012.
Pendekatan di Papua adalah pendekatan keamanan yang secara nyata tak mampu menyelesaikan masalah Papua. Pendekatan di Ndugama adalah sifatnya darurat militer. Kecurigaan dimana -mana, penyiksaan dimana mana, Kematian pun dimana -mana.
Kendari,22 September 2023
Penulis : Osen Tini
Editor : Junior_Choteka
No comments for "Ketidak Adilan, Kekerasan dan Pelangaran HAM Hak Asasi Manusia, di Papua-Nduga."
Post a Comment
Yuuk silakan berkomentar Pandangan Saudara...