01 Desember, 1961 dan Selamat Memasuki 01 Desember 2021
Bonawan_Kambumil_Kemerdekaan Bangsa West Papua, Hii Sobat Artikel ini untuk semua kalian yang masih berdiri di atas lantai kemanusiaan dan mengibarkan panji perlawanan: orang-orang yang mudah terusik pikirannya ketika melihat ketidakadilan, memendam amarah di hatinya saat menyaksikan penindasan, dan bersedia menentang segala praktik otoritarian baik dengan ucapan, tulisan, maupun perbuatan.
Bonawan_Kambumily Juga, Ujar kami pikir kalian tahu. Bahwa sebentar lagi kita memasuki tanggal bersejarah bagi Bangsa West Papua. 1 Desember (1961): hari di mana 60 tahun lalu kemerdekaan dideklarasikan di tanah Papua. Kini kebebasan dan kedaulatan yang dipancang itu digerogoti oleh kkb sentimen rasial hingga buasnya akrobat pasukan bersenjata.
Ia juga, menyambut momen itulah kami–Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN)–yang tergabung dalam Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP)–menyerukan kepada kalian untuk memperingatinya. Peringatannya bisa dilakukan dengan aksi massa, diskusi, atau menyebarkan pamflet edukasi-agitasi-propaganda. Dalam beragam tindakam inilah kita akan mempersoalkan perkara demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah lama melanggeng di tanah Papua.
Kami yakin, kalian mengerti dengan nestapa apa yang sampai sekarang menimpa rakyat Papua:
jika demokrasi menjanjikan kebebasan bagi semua dan HAM menawarkan kesetaraan antar-manusia, tapi mengapa di bawah langit cendrawasih masih saja terdapat manusia-manusia yang tidak bebas dan setara? Padahal kita percaya: kebebasan dan kesetaraan merupakan dua pilar utama kemanusiaan. Tanpa keduanya maka banyak hal-hal baik, indah dan benar akan lenyap dari kehidupan.Bagi mayoritas kaum miskin dan tertindas di Papua, semua nilai-nilai kemanusiaan itu telah meluncur sejak 19 Desember 1961. Saat inilah Deklarasi Kemerdekaan Bangsa West Papua 1 Desember 1961 diluncurkan melalui serbuan pasukan bersenjata.
Bonawan_Kambumily juga katakan, Dalam Pemusnaan Etnis Melanesia (2012), Dr. Socratez Sofyan Yoman,MA -memang pernah menjelaskan demikian. Mula-mula pengerahan serdadu menyulap tanah Papua jadi panggung dipentaskannya aneka kekejaman: peneroran, intimidasi, penangkapan, pemenjaraan, penghilangan paksa, pelecahan dan pemerkosaan, penyiksaan dan pembunuhan, pengeboman dan pembantaian. Semua ini berlangsung dengan melancarkan tiga fase kekerasan:
“Operasi militer untuk memaksa Papua berintegrasi ke dalam Indonesia secara faktual dirintis mulai tahun 1961 dengan masuknya balatentara Indonesia ke Papua dengan sebutan sukarelawan dalam rangka melakukan infiltrasi untuk menguasai sebagaian wilayah Papua dari Belanda dan kemudian daerah itu dimanfaatkan untuk mengacaukan jalannya pemerintahan Belanda atas Papua. Sejak tahun 1961 itulah, masyarakat Papua mengenal Indonesia secara nyata berkat adanya pasukan-pasukan ABRI yang menyusun ke Papua…. Fase infiltran ini untuk membentuk basis-basis gerilya dan mempersiapkan pembentukan pos terdepan bagi upaya penyerbuan Papua oleh Indonesia. Dalam fase ini dimasukan lebih kurang 10 kompi prajurit ABRI ke Papua. Fase kedua adalah melakukan serangan terbuka ke beberapa daerah seperti Biak, Fak-Fak, Sorong, Kaimana, dan Merauke. Fase ketiga adalah konsolidasi pasukan sebagai kekuatan militer Indonesia di Papua.”
Ujar Bonawan_Kambumily, Melalui Operasi Trikora banyak sekali OAP yang dikorbankan: sampai sekarang tidak ada yang tahu pasti tentang jumlahnya, tapi dari sebuah sumber menjelaskan bahwa sejak pasukan menyerang dalam setiap harinya terdapat belasan hingga puluhan orang yang menjadi korban kekerasan. Pada 1962, segala kejahatan-kejaatan politik itu coba disamarkan dengan melaksanakan dua perjanjian arbitrer dan terselubung: New York Agreement dan Rome Agreement—kedua kesepakatan ini sama sekali tidak melibatkan Rakyat-Bangsa Papua, karena cuma memberi tempat kepada Indonesia dan negara-negara imperialis.Bahkan melalui perjanjian-perjanjian inilah pelanggaran-pelanggaran HAM dalam Operasi Trikora seolah telah direlakan, hingga secara penuh tipu-daya Papua dipindahtangankan dari Belanda ke Indonesia melalui Aneksasi 1 Mei 1963.
Disingkirkannya rakyat Papua dari proses pembuatan keputusan itu menjadi awal mekarnya politik rasial begitu rupa. Hanya setelah berlangsungnya peristiwa ini militerisme mengalunkan kebrutalannya tidak sekadar dalam urusan pertempuran tapi juga kebudayaan. Inilah mengapa sekolah dan rumah-rumah mulai dilakukan penyisiran: buku-buku, bendera serta beragam simbol nasional Papua dihancurkan, dan barang-barang berharga penduduk mengalami penjarahan. Pada Jejak Kekerasan Negara dan Militerisme di Tanah Papua (2021), Socratez Yoman merekam demikian:
“Setelah tanggal 1 Mei 1963, masyarakat di kota-kota Jayapura, Biak, Manokwari, dan Sorong menyaksikan berbagai fasilitas untuk digunakan di Irian Jaya diangkut ke daerah Indonesia lain menggunakan transportasi yang ada apakah itu tempat tidur, kasur, mesin cuci, kaca nako, wash tafel, oven, sepeda, vespa, kipas angin, … di lapangan terbang internasional Mokmer Biak, dan Dokapung di Manokwari.”
Dimusnahkan sumber-sumber pengetahuan dan kebudayaan Papua oleh praktik militerisme merupakan bentuk nyata dari rasisme di lingkungan pendidikan. Bahkan dengan membakar buku-buku, maka militer menjelma bukan saja sebagai mesin kekerasan tapi juga alat pembodohan. Pada pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang berlangsung 14 Juli-2 Agustus 1969, kekerasan dan pembodohan dialirkannya penuh kebrutalan. Teror, intimidasi, dan beragam tekanan dilancarkan untuk menundukan pilihan 809.337 Rakyat-Bangsa West Papua dalam sangkar Pepera. Namun yang berhasil dijerat cumalah 1.025 orang saja—mereka diluluhkan melalui penculikan, penganiayaan, pelecehan, dan todongan senjata.
Dilangsungkannya referendum secara kriminal ternyata bukan hanya dihadapi ratusan ribu OAP dengan abstain tapi juga menyulut perlawanan yang membara. Meletusnya penolakan radikal dari rakyat-bangsa tertindas ditandai dengan berlangsungnya Proklamasi Kemerdekaan 1 Juli 1971. Dalam Materi Agitasi dan Propaganda Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), teks proklamasi yang dibacakan oleh Presiden Zeth Javet Rumkorem itu berbunyi:
“Rakyat Papua Barat sekalian, dari Numbay sampai Merauke, dari Sorong sampai Balim Pengunungan Bintang, dan dari Biak sampai pulau Adi, dengan Berkat dan pertolongan Tuhan kami mendapat kesempatan hari ini. Menyampaikan kepada kami sekalian, berdasarkan keinginan luhur bangsa Papua Barat Bahwa bangsa dan Tanah air yang merdeka berdaulat penuh. Kiranya Tuhan Menyertai kita dan ini dunia menjadi maklum bahwa ke inginan luhur Bangsa Papua Barat menjadi nyata Victoria: 1 juli 1971 atas nama rakyat dan pemerintah Papua Barat. (Presiden Zeth Javet Rumkorem Brigadir Jenderal)“
Tekad Bonawan_Kambumily, sebentar lagi (1 Desember 2021). Deklarasi Kemerdekaan Papua akan menginjak tahun yang ke-60. Dalam momen bersejarah inilah solidaritas untuk bangsa tertindas mesti dinyalakan dan membakar kekuasaan. Meski negara bersama alat-alat represinya membungkam dan menghukum, tapi kebenaran sejarah harus terus dikabarkan. Jika merdeka itu merupakan hak segala bangsa, maka kemerdekaan Bangsa West Papua juga patut diperjuangkan.
Mulai sekarang, siapkan dirimu kamerad-kamerad semua. Besok! Di bilik-bilik kontrakan, kampus, jalanan, gang dan lorong-lorong–harus diriuhkan dengan orasi, pidato, salebaran, dan segala hal berkait Bangsa West Papua. Lebih-lebih menyangkut cita-cita kemerdekaannya, sekaligus apa saja yang menghalanginya dalam menjadi bangsa yang bebas-merdeka.
No comments for "01 Desember, 1961 dan Selamat Memasuki 01 Desember 2021"