Pemerintah Indonesia Gagal Menangkan Pikiran dan Hati Rakyat Papua karena Pendekatan kekerasan Rasisme dan Ketidakadilan

Oleh: Gembala Dr. Socratez S.Yoman,MA


“Orang Indonesia ini pintar menyembunyikan watak RASISME .” (Pdt. Dr. Benny Giay, Moderator Dewan Gereja Papua (WPCC), 31/06 2021). 

1. Apakah benar orang Indonesia ini pintar menyembunyikan watak RASISME? 
2. Apakah benar bangsa kolonial modern  Indonesia yang berwatak RASIS menduduki dan menjajah bangsa Papua selama 58 tahun sejak 1 Mei 1963? 

Pertanyaan ini dijawab melalui Dewan Gereja Papua (WPCC) dalam Surat Gembala pada 26 Juni 2021 memberikan kesimpulan: “… “akar persoalan konflik Papua dan Negara adalah Rasisme sebagai “jantung” dan “nada dasar “ yang menjadi landasan terjadinya kekerasan dan penindasan terhadap orang Papua oleh negara.” 

Bukti-bukti diskriminasi RASIAL dan ketidakadilan  Negara atas rakyat dan bangsa Papua, sebagai berikut: 

  1. Proses pembuatan Perjanjian New York 15 Agustus 1962  untuk masa depan rakyat dan bangsa Papua, terutama Orang Asli Papua (OAP), pemilik Tanah ini, ditentukan oleh bangsa-bangsa kolonial asing yang tidak ada ikatan atau hubungan dengan bangsa Melanesia. Amerika, Belanda dan Indonesia adalah bangsa kolonial asing yang berwatak rasis yang dapat  mengorbankan masa depan rakyat dan bangsa Papua. Artinya, Pembuatan New York Agreement 15 Aguatus 1962 adalah Perjanjian yang berbasis RASISME.  
  2. Penyerahan rakyat dan bangsa Papua dari kolonial Belanda dan UNTEA kepada kolonial modern Indonesia pada 1 Mei 1963 adalah perbuatan RASIALIS. 
  3. Pelaksanaan Pepera 1969 yang dimenangkan ABRI (kini: TNI) adalah berbasis RASISME.  ABRI yang berwatak rasis mengintimidasi, meneror, menangkap, menyiksa, memenjarakan dan menembak mati Orang Asli Papua yang menyatakan pandangan politik untuk merdeka dan berdaulat atas Tanah leluhur. 

Jim Elmslie mengutip apa yang disampaikan John Rumbiak, aktivis HAM terkemuka Papua: 

“…bahwa jantung persoalan di Papua adalah RASIALISME. Tidak hanya rasialisme Indonesia, namun juga rasialisme negara-negara Barat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengijinkan Penentuan Pendapat Rakyat atau Act of Free Choice pada 1969 dengan hanya 1.025 orang…(Sumber: Filep Karma: Seakan Kitorang Setengah Binatang, Rasialisme Indonesia di Papua: 2014: hal.x). 

  1. Pemberian stigma, label dan mitos seperti: separatis, makar, OPM, KKSB, KKB dan label terbaru Teroris adalah stigma yang didukung dengan jiwa dan watak RASISME para penguasa Indonesia sebagai kolonial moderen atas rakyat dan bangsa Papua. Mitos, stigma dan label ini diciptakan oleh penguasa kolonial Indonesia untuk menutupi perilaku dan kejahatan RASISME di Papua. Tepat, apa yang disampaikan Pendeta Dr. Benny Giay yang dikutip ulang di sini: “Orang Indonesia ini pintar menyembunyikan watak RASISME.”  Sejak 1 Mei 1963, Penguasa kolonial Indonesia bersembunyi dibalik wajah politik dan kekerasan militer di Papua. RASISME di-OPM-kan. RASISME di-separatis-kan. RASISME di -Makar-kan. RASISME di-KKB-kan, RASISME di-Teroris-kan.  Kejahatan kemanusiaan dan perlakuan ketidakadilan penguasa kolonial Indonesia ialah RASISME sebagai akar atau jantung konflik Papua dipolitikan selama 58 tahun. 
  2. Otonomi Khusus Papua Nomor 21 Tahun 2001 dengan jelas mempelihatkan perlakuan Diskriminasi RASIAL dalam pelaksanaannya dengan Otonomi Khusus Aceh Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.  Aceh ada 4 Peraturan Pemerintah. Papua 1 Peraturan Pemerintah (PP 54 Tahun 2004 tentang MRP). Aceh ada 35 Kanon dan Papua 18 Perdasus. Aceh ada Sekretariat Lembaga Wali Nanggro dan Papua ada MRP. Aceh ada Sekretariat Pendidikan Aceh dan Papua tidak ada. Aceh dijadikan mitra dialog Pemerintah Indonesia dengan GAM yang dimediasi pihak ketiga di Firlandia pada 15 Agustus 2005. Tetapi, Papua diberikan label yang paling kejam, yaitu label teroris. 

Sikap dan watak RASIALISME Indonesia terbukti dengan revisi UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001 Pasal 34 tentang Keuangan dan Pasal 76 tentang Pemekaran. Perubahan dua Pasal ini sangat bertentangan dengan Pasal 77 UU Otsus Papua, bahwa semua perubahan UU Otsus atas persetujuan rakyat Papua melalui MRP dan DPR Papua. 

Kekuatan RASISME lebih mengakar dalam hidup penguasa kolonial Indonesia dan mengabaikan rasa keadilan, martabat kemanusiaan dan kesetaraan sebagai sesama manusia. Penguasa Indonesia benar-benar menutup telinga, pintu hati nurani untuk mendengar suara rakyat Papua dalam melihat penderitaan, ketidakadilan rakyat Papua dan pelanggaran berat HAM. 

Pemerintah Indonesia benar-benar menutup mata dan menutup pintu hati nurani kemanusiaan dan sungguh-sungguh memegang teguh pada watak RASISME dan mengabaikan Petisi Rakyat Papua  (PRP) 700.000 tanda tangan yang menolak kelanjutan Otsus Papua. 

6. TNI mengulangi kesalahan dan kekejaman pada pelaksanaan Pepera 1969 dalam Otsus 2001. Kekejaman ini terbukti dengan menghalangi dan menggagalkan Pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dilaksanakan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP). 

6.1. Pada 17 November 2020, Pasukan Gabungan TNI-Polri mengepung Hotel Horex Sentani dan menggagalkan seluruh kegiatan MRP, sehingga RDP tidak dilaksanakan di wilayah Adat Tabi. 

6.2. Pada Selasa, 17 November 2020, sekitar jam 19:30 WIT malam Kapal Cepat yang membawa Peserta RDPW Saireri dari Kabupaten Kepulauan Yapen dan Kabupaten Waropen tiba di pelabuhan Biak, tetapi dihadang oleh lebih dari 100-an personel pasukan gabungan dari TNI AU, TNI AL, TNI AD, POLRI dan Satpol PP…” 

6.3. Pada 17-18 November 2020, aparat keamanan menangkap Tim Kerja RDP-Wilayah Aim Ha dan peserta RDP dan ditahan di Polres Merauke selama dua hari dari tanggal 17-18 November 2020. 

6.4. Pada 15 November 2020 Tim Kerja RDP ditahan di Airport Wamena dan berada di Bandara Airport selama 9 jam tanpa diberikan makan dan minum karena aparat keamanan dan 15 orang yang disponsori TNI (tokoh milisi) melakukan demonstrasi di depan Airport. Tim Kerja RDP Wilayah La Pago kembali ke  Jayapura, karena RDP digagalkan oleh aparat keamanan. 

6.5.  Pada 17-18 November 2020, RDP Wilayah Mee Pago dilaksanakan di Lapangan Terbuka, walaupun bupati Nabire melarang dan menolak melaksanakan RDP-Wilayah Mee Pago dengan Surat Nomor 330/2919/Set, tertanggal, 16 November 2020. 

Ada larangan dari Negara/Pemerintah dan Aparat keamanan supaya MRP tidak menyelenggarakan Rapat Dengan Pendapat (RDP) dengan seluruh rakyat Papua di 5 Wilayah Adat Papua. 

Maklumat Kapolda Papua Nomor Mak/I/XI/2020, tertanggal, 14 November 2020,  Tentang Rencana Rapat Dengar Pendapat yang isinya menolak Pelaksanaan RDP. 

Bupati Merauke melarang pelaksanaan RDP Wilayah Anim Ha dengan Surat bernomor: 360/52.28, tertanggal, 16 November 2020. 

Larangan Rapat Dengar Pendapat Wilauah Tabi datang dari Bupati Jayapura dengan surat bernomor: 200/2114/Set, tertanggal, 12 November 2020 berperihal: Penolakan Tempat pelaksanaan RDPU Otsus Papua di Kabupaten Jayapura. 

(Sumber: Penilaian Efektivitas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Papua: Majelis Rakyat Papua, Numbay, 2020). 

Bangsa Indonesia yang berwatak RASIALIS dan penguasa Paranoid  ini telah melahirkan 4 sikap rakyat Papua terhadap Indonesia: 

1. DISTRUST:  Rakyat dan bangsa Papua telah kehilangan kepercayaan kepada penguasa pemerintah Indonesia dan aparat keamanan TNI dan Polri yang rasialis. 

2. DISOBEDIENCE: Ketidakpercayaan rakyat dan bangsa Papua menyebabkan ketidaktaatan, ketidaksetiaan dan ketidakpatuhan rakyat dan bangsa Papua kepada penguasa Indonesia dan TNI-Polri yang rasialis. 

3. REJECTION:  Karena kehilangan kepercayaan dan dan ketidakpatuhan terhadap penguasa kolonial Indonesia dan TNI dan Polri yang rasialis maka rakyat dan bangsa Papua melakukan penolakan terhadap otoritas bangsa Indonesia. 

4. RESISTENCE : Hilangnya kepercayaan, lahirnya sikap ketidakpatuhan, dan melahirkan sikap penolakan terhadap penguasa Indonesia yang rasialis, maka lahirlah semangat solidaritas untuk melakukan perlawanan terhadap penguasa Indonesia dengan berbagai bentuk dan dalam berbagai level. 

Solusinya: Pemerintah RI- ULMWP duduk setara di meja perundingan yang dimediasi pihak ketiga yang netral. Perundingan damai dan setara ini untuk penyelesaian akar konflik Papua, seperti luka membusuk dan bernanah di tubuh bangsa Indonesia adalah 4 pokok akar konflik dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008). Empat akar konflik Papua, yaitu: 

1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia; 

(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian; 

(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri; 

(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua. 

Momentum atau kesempatan Otsus untuk membangun orang asli Papua sudah lewat dan telah DIGAGALKAN oleh Pemerintah Indonesia dan  dalam era Otsus sudah diisi dengan Remiliterisasi dan pelanggaran berat HAM. Jadi, hasil akhir dari Otsus selama 20 tahun adalah penderitaan, tetesan darah dan air mata. Otsus membawa malapetaka setelah Pepera 1969. 

RASISME melahirkan ketidakadilan, kekerasan Nergara/Operasi Militer, kapitalisme, kejahatan kemanusiaan/pelanggaran berat HAM, diskriminasi dan marjinalisasi yang menyebabkan Papua tetap LUKA MEMBUSUK dan BERNANAH dalam tubuh bangsa Indonesia. 

Doa dan harapan penulis, para pembaca mendapat pencerahan.  Waa…Waa….



Penulis: 

  1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua;
  2. Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua Barat (WPCC)
  3. Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC)
  4. Anggota Aliansi Baptis Dunia (BWA).

Editor By: Bonawan_Kambumily

Bonawan
Bonawan Bonawan_kambumily

No comments for "Pemerintah Indonesia Gagal Menangkan Pikiran dan Hati Rakyat Papua karena Pendekatan kekerasan Rasisme dan Ketidakadilan"